This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 29 April 2016

Penerapan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia

Penerapan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia
Oleh: Dr. Komari, S.H., M. Hum
A. Pendahuluan
Hukum yang berlaku di Indonesia bersifat transindental dan horizontal, artinya selain berhubungan dangan sesama manusia  dan lingkungan juga berhubungan dengan Allah SWT, lain halnya dengan hukum sekuler yang berlaaku di negara-negara barat.
Sifat hukum Indonesia tersebut dapat dilihat dalam Pancasila dan dijelaskan lagi dalam mukaddimah dan pasal 29 UUD 45. Dalam Mukaddimah “atas berkat rahmad Allah” menunjukan Allah yang menjadi sumber proklamasi dan seterusnya yang mengatur sumber kehidupan setelah proklamsi  dalam kehidupan Negara Republik Indonesia. Apalagi ditambah dengan ketentuan Dekrik Presiden  5 Juli 1959 yang kembali pada UUD 45 bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan rangkaian kesatuan konstitusi. Dengan demikian hukum Allah menjadi sumber hukum Indonesia sejalan dengan Pancasila.
Hukum Allah dapat diketahui dalam Al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW, dan hasil ijtihad para ahli hukum Islam, namun ketiga sumber hukum itu yang berhubungan dengan ibadah umumnya tektualnya sudah jelas dan pasti. Sedangkan yang berhubungan dengan muamalah sebagian besar tidak dibahas dan disinggung secara eksplisit. Hal yang demikiaan tidaklah berarti Allah dan rasul-Nya tidak mengatur syariat Islam secara menyeluruh, tetapi justru kebijaksanaan yang sangat luar biasa dan memberikan sepenuhnya kepada ulama’ cendikawan, pemerintah atau orang-orang keahlian menganalisa dan memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia baik secara individu, dalam masyarakat maupun dalam suatu negara. Selanjutnya para ahli tersebut  melakukan pengkajian secara kontektual atau ijtihad guna menetapkan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslakatan mayarakat dan kondisi-situasi serta kemajuan mayarakat itu sendiri.

Teori Pemisahan Kekuasaan dan Perkembangannya

Pada prinsipnya, konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara antara lain merupakan pencatatan (registrasi) pembagian kekuasaan didalam suatu negara. Pembagian kekuasaan menurut fungsinya menujukkan perbedaan antara fungsi- fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal sebagai Trias Politika.
Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule making function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function); ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (function) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian hak-hak asasi warga negara lebih terjamin.[1]

Teori Pemisahan Kekuasaan dan Perkembangannya
Pertama kali mengenai fungsi-fungsi kekuasaan negara dikenal di Perancis pada abad ke-XVI, pada umumnya diakui lima yaitu: (i) fungsi diplomacie; (ii) fungsi defencie; (iii) fungsi financie; (iv) fungsi justicie; dan (v) fungsi policie.[2]  Oleh John Locke (1632-1704) dalam bukunya Two Treatises on Civil Goverment (1690) kemudian konsepsi mengenai fungsi kekuasaan negara itu dibaginya menjadi tiga, yaitu (i) fungsi legislatif; (ii) eksekutif; (iii) fungsi federatif (hubungan luar negeri), yang masing-masing terpisah satu sama lain. Bagi John Locke, fungsi peradilan tercakup dalam fungsi eksekutif atau pemerintahan. John Locke memandang mengadili itu sebagai uittvoering, yaitu termasuk pelaksanaan undang-undang.[3]
Pada tahun 1748, Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran John Locke yang ditulis dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of the Law). Alasan Montesquieu mengembangkan konsep Trias Politika didasarkan pada sifat despotis raja-raja Bourbon, ia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya merasa lebih terjamin haknya. Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Terutama adanya kebebasan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu yang mempunyai latar belakang sebagai hakim, karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi manusia perlu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang (diutamakan tindakan politik luar negeri), sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.[4]
Montesquieu mengemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin jika ketiga fungsi kekuasaan tidak dipegang oleh satu orang atau badan tetapi oleh ketiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya “kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan, akan menjadi malapetaka jika seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga kekuasaan tersebut, yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum, dan mengadili persoalan-persoalan antara individu-individu”.[5]
Sementara itu, C. Van Vollenhoven mengembangkan pandangan yang tersendiri mengenai soal ini. Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasa diistilahkan dengan catur praja, yaitu (i) fungsi regeling (pengaturan); (ii) fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan); (iii) fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan (iv) fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan. Sedangkan Goodnow mengembangkan ajaran yang biasa diistilahkan dengan di praja, yaitu (i) policy making function (fungsi pembuatan kebijakan); dan (ii) policy executing function (fungsi pelaksanaan kebijakan). Namun, pandangan yang paling berpengaruh di duni adalah seperti yang dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu adanya tiga cabang kekuasaan negara yang meliputi fungsi legislatif, eksekutif, dan yudisial.[6]
Teori pemisahan kekuasaan Montesquieu mengalami perkembangan dan mendapat kritikan. Pemisahan kegiatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak dapat dipisahkan secara tajam satu dengan yang lain. Menurut E. Utrecht, pemisahan mutlak yang dikemukakan oleh Montesquieu mengakibatkan adanya badan negara yang tidak ditempatkan dibawah pengawasan badan kenegaraan lainnya. Ketiadaan pengawasan ini mengakibatkan terbukannya kemungkinan suatu badan kenegaraan melampaui batas kekuasaannya. Jika dilihat dari fungsi negara pada negara hukum modern, pembagian tiga fungsi kekuasaan negara tidak dapat diterima secara mutlak, karena badan negara juga dapat diberi lebih dari satu fungsi.[7]
Mariam Budiardjo menyatakan pada abad ke-20 dalam negara yang sedang berkembangan dimana kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi demikian kompleksnya serta badan eksekutif mengatur hampir semua aspek kehidupan kehidupan masyarakat, Trias Politika dalam arti “pemisahan kekuasaan” tidak dapat dipertahankan lagi.[8] Selain itu, dewasa ini hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (Welfare State). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalan fungsi secara tepat, cepat, dan komprehensip dari semua lembaga negara yang ada. Dengan kata lain persoalan yang dihadapai oleh negara semakin kompleks dan rumit sehingga penanganannya tidak dapat dimonopoli dan diselesaikan secara otonom oleh negara tertentu saja, melainkan perlu adanya kerjasama antar lembaga negara yang ada.[9]

Dalam perkembangan sejarah, teori dan pemikiran tentang pengorganisasian kekuasaan dan tentang organisasi negara berkembang sangat pesat. Menurut Jimly Asshiddiqie, hal ini disebabkan tuntutan keadaan dan kebutuhan nyata, baik faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin kompleks menyebabkan variasi struktur dan fungsi organisasi serta institusi kenegaraan berkembang dalam banyak ragam dan bentuknya.[10] Negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) melalui berbagai bentuk organ pemerintahan yang dinilai lebih efektif dan efisien sehingga pelayanan umum (public services) dapat benar-benar terjamin. Kelembagaan tersebut disebut dengan istilah dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority).[11]
Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit, organisasi-organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralistis, dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Oleh karena itu, muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi-fungsi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Sehingga dimungkinkan adanya suatu lembaga negara baru yang menjalankan fungsi yang bersifat campuran, dan masing-masing bersifat independen (independent bodies)[12] atau quasi independent. Terdapat beberapa ahli yang mengelompokkan independent agencies (lembaga independen) semacam ini dalam domain atau ranah kekuasaan eksekutif. Ada pula sarjana yang mengelompokkannya secara tersendiri sebagai the fourth branch of the government, seperti yang dikatakan oleh Yves Meny dan Adrew Knapp.[13]
Menurut Crince le Roy terdapat kekuasaan lain disamping tiga kekuasaan negara menurut Montesquieu yaitu sering disebut kekuasaan ke-empat, tetapi para ahli sering tidak memberikan tempat bagi kekuasaan yang ditemukan itu didalam pola kekuasaan undang-undang dasar. Akibatnya terjadi ketegangan antar hukum tertulis dengan disatu pihak dengan kenyataan dalam masyarakat dipihak yang lainnya. Meneliti hukum tatanegara Belanda kekuasaan tersebut diberi istilah De Vierde Macht. Kekuasaan lainnya yakni komisi-komisi independent, pers, aparat kepegawaian, kekuasaan;kekuasaan pengawasan, komisi-komisi pelayanan masyarakat, rakyat yang mempunyai hak pilih, kelompok-kelompok penekan dan partai-partai politik.[14] Badan-badan atau lembaga-lembaga independen yang menjalankan fungsi regulasi dan pemantauan di Amerika serikat disebut juga the headless fourth branch of the government.[15]

Konsep Trias Politika yang disampaikan Montesquieu tidak relevan lagi saat ini, mengingat tidak mungkin mempertahankan ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.[16]

Jadilah Guru Yang Mulia

Guru adalah sosok yang berperan penting dalam perkembangan manusia. Melalui pengajaran yang diberikan, guru mampu membawa masyarakat ke arah yang lebih baik. Di masa silam, guru merupakan tempat terbaik yang dipercaya oleh masyarakat sebagai seseorang yang mampu memecahkan segala masalah. Selain masalah, guru juga dapat mengerti dan memahami apa yang sedang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Bahkan bukan hanya itu, ilmu yang diberikan oleh guru sanggup mengantarkan mereka menjadi seseorang yang berguna bagi seseorang lainnya. Jika dilihat dari masa ke masa, tidak mudah menjadikan guru ada dan lahir di Indonesia. 

Selama kurun waktu ini, sistem pendidikan guru di Indonesia semakin berubah. Guru yang tidak lagi dapat dekat dengan masyarakat, mendorong munculnya pemikiran-pemikiran negatif akan kinerjanya sebagai pendidik. Pada masa orde lama, perbedaan-perbedaan dalam sistem persekolahan yang ada di RI dan negara-negara bagian lainnya menjadi salah satu permasalahan pokok seorang guru. 

Dalam masa itu, guru dituntut untuk patuh secara penuh terhadap peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Guru terikat oleh keterbatasan gerak pikir dalam menyampaikan materinya. Sehingga kementrian memutuskan untuk menyelenggarakan pendidikan guru darurat, yaitu pendidikan guru singkat yang berlangsung selama 2 tahun sesudah Sekolah Dasar (SD) dengan bahan pelajaran yang cukup kompleks dan menyita waktu. Dengan begini, guru akan monoton dan tidak bisa mengembangkan apa yang menjadi inovasi dalam dirinya.

Guru tidaklah harus menjadi seperti yang atasan inginkan. Dalam lingkup kerjanya, guru bebas dan berhak menentukan jalan pembelajaran yang mereka mau sesuai kurikulum yang diterapkan. Mengapa demikian? karena guru telah memiliki kompetensinya sendiri yang terbidangi oleh beberapa keahlian dan kemampuan di masing-masing tempatnya. 

Guru menempuh pembelajaran beberapa tahun untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan yang wajib diterapkannya pada anak didiknya kelak. Oleh karena itu, seharusnya dengan adanya sosok guru dapat membantu pemerintah menerapkan tercapainya manusia-manusia yang terdidik dan berdaya pikir tinggi sehingga mampu mencetak penghasilan-penghasilan baru terkait kesejahteraan masyarakat banyak.

Jabatan guru tidak hanya mengajar lalu kembali ke rumah. Guru mempersiapkan berbagai materi untuk diperkenalkan dan diajarkan kepada anak didiknya. Guru menerima tanggung jawab yang besar atas segala keputusan dan unjuk kerja yang ditampilkan. Saat ini, guru telah banyak mempelajari berbagai bidang yang mungkin bukan bagian dari pendidikannya. Misalkan guru tersebut menyelesaikan pendidikan dalam bidang IPA, namun tidak berarti guru selalu belajar mengenai ilmu-ilmu alam. Guru pun juga mempelajari bidang-bidang lain yang menunjang bagaimana kelak guru ini dapat berlaku ke semua bentuk materi. Seperti apa yang telah dicantumkan sebagai kriteria, jabatan guru ini memerlukan persiapan latihan yang lama. Mereka melakukan praktek untuk mendapatkan pengalaman melalui pemagangan dan pendidikannya.  

Dari sini, guru haruslah mendapat perlindungan atas otoritasnya, dapat dihargai dan terjaga statusnya dalam masyarakat karena bagaimanapun masyarakat dan pemerintah juga yang nantinya akan mendapatkan pelayanan guru sebagai pendidik mereka.

Adanya sebuah profesi tentunya tak lepas dari masalah kode etik. Dalam menjalankan tugas, guru diharuskan terpaku pada peraturan yang telah disepakati bersama. Peraturan yang berjalan ini bukan semata-mata menghentikan jabatan seorang guru hanya tetap pada posisi yang seperti itu-itu saja. Namun, guru akan dikembangkan melalui hal kecil terlebih dulu. Kode-kode tersebutlah yang juga akan membawa jabatan mereka menjadi layak atau tidak jika nantinya diperuntukkan bagi masyarakat luar. Guru Indonesia cukup memahami apa tujuan dibentuknya peraturan tersebut, misalnya dalam bersikap mereka batasi sesuai yang seharusnya. 

Dari sisi ini, betapa hebat pengabdian guru bagi sebuah negeri. Tanpa guru mungkin kita tidak bisa mengeja huruf hingga membentuk sebuah kata. Guru mampu menunjukkan pada dunia, mereka tidak malu pergi ke suatu tempat untuk menyuarakan hasil belajarnya meski tak ada sehelai kertas pun yang didapat. Namun bukan itu yang menjadi sasaran hidupnnya, guru mendidik dan menyumbangkan ilmunya demi meningkatkan martabat anak didiknya. Setidaknya orang berilmu adalah termasuk orang-orang yang nantinya akan dihargai oleh orang lain juga, dengan ilmu mereka dapat menumbuhkan kepribadian yang baik pula. Ilmu menjadikan masyarakat atau pembelajar tahu akan makna sesuatu dan mengenal dengan cerdas situasi maupun kondisi yang akan atau telah dialaminya. Dengan begitu, individu yang memiliki ilmu dapat mewakilkan segala jenis pengetahuan yang dapat dimilikinya melalui pengembangan yang akan dicapai dari beberapa pengalaman.


Guru memang bukan seseorang yang sempurna, tetapi dengan memiliki guru sebagai pengajar atau pendidik kita dapat mengenal berbagai bentuk huruf, angka, bahkan sebuah arti kehidupan. Guru layak mendapatkan tempatnya sesuai dengan apa yang telah ia berikan bagi masyarakat. Guru tetap bisa mengabdi meski keadaan tak mengharapkan mereka bergelut kembali dalam bidang pembelajaran. Pengabdian ini tidak hanya dapat berlaku dan diterapkan dalam sebuah ruang yang bernamakan kelas, di segala tempat dan situasi apapun dapat dijadikan pengisi pengetahuan di atas ucapan seorang guru. Kehadiran dan jasa mereka mampu tertancap pada naluri anak didik. Pengetahuan yang telah terbagi jauh mengantarkan keberadaan masyarakat menuju keadaan sosial yang lebih baik lagi. 

Di sinilah, mengapa guru harus dan tetap jadi orang tua kedua dalam pengembangan seorang anak, sebab guru menambah apa yang perlu diketahui oleh setiap anak dalam hal belajar yang nantinya akan menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru yang belum diajarkan dalam lingkungan utamanya atau keluarga. Guru bak laut yang tak pernah kehabisan air meski air tersebut dihabiskan dengan cara apapun akan tetap jadi laut itu sendiri. Seperti halnya anak didik, guru juga tidak akan bisa mengembangkan pengalaman belajarnya tanpa kehadiran masyarakat. 

Jadi, semua komponen yang dimiliki guru dan anak didik adalah bertujuan untuk saling melengkapi dan saling membenarkan sesuatu yang belum dipahami masing-masing dari mereka. Oleh karena itu, kita sebagai calon guru setidaknya berusaha menjaga apa yang telah terjaga sebelumnya, meneruskan apa yang belum sempat dilakukan, dan memperjuangkan keberadaan atau posisi guru sebagai jabatan yang tetap mulia di mata masyarakat luas. Pesan dan harapan dari seorang guru di Indonesia untuk calon-calon guru seperti kita, haruslah dapat kita wujudkan dengan jalan dan cara kita sehingga kelak, kita dapat tunjukkan bahwa kita bisa dan semakin bisa karena usaha dan dorongan mereka yang sangat keras untuk menjaga hadirnya guru-guru baru seperti kita.

Utang Tak Dibayar, Barang Dirampas

Pertanyaan:
Bapak Pengasuh rubrik konsultasi hukum yang saya hormati, Pada bulan Oktober 2008 silam, saya melakukan perjanjian pinjam meminjam uang dengan seorang teman sebut saja namanya A sebesarnya Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Si A meminjam uang tersebut dengan alasan akan mengembangkan bisnisnya, dan berjanji uang tersebut dipinjam tidak dalam waktu lama hanya tiga bulan dan berjanji akan membayarnya pada bulan Desember 2008, namun hingga bulan ini, februari 2009, Si A tidak pernah membayar hutangnya. Setiap dihubungi melalui HP dimatikan, dan setiap kerumahnya ia tidak ditempat.
Pertanyaan saya adalah, karena tindakan Si A tidak membayar hutangnya tersebut dapatkah saya ambil saja barang-barang yang berada di rumah Si A sesuai dengan jumlah utangnya.
Demikian pertanyaan saya, terimakasih atas jawaban yang bapak berikan. (Bapak Anto, di Padang).

Jawaban:
Bapak Anto yang kami hormati. Setiap orang yang berutang, utangnya harus dibayar. Hal ini merupakan dasar logika kita berpikir. Si A telah berutang kepada bapak, maka Si A wajib membayar utangnya tersebut. Tindakan Si A dengan tidak melakukan pembayaran terhadap utangnya merupakan bentuk wanprestasi.
Indonesia merupakan Negara hukum, maka setiap warga Negara harus patuh dan tunduk dengan hukum. Bila ada hak-hak warga negara yang dirugikan, maka warga Negara tersebut harus memperolehnya melalui jalur hukum. Namun tindakan yang bapak lakukan dengan datang ke rumah Si A dan kemudian mengambil barang-barang milik Si A, merupakan suatu bentuk tindakan melawan hukum atau main hukum sendiri (eigen rechten).
Saya memahami kondisi yang Bapak Anto alami, namun perlu Bapak Anto pahami bahwa jangan sampai untuk memperoleh hak, Bapak melanggar hukum. Jangankan hak Bapak yang akan di peroleh nantinya, malahan Bapak dapat ditahan oleh pihak kepolisian karena telah melakukan tindakan pencurian dan masuk kerumah orang tanpa izin. Hal tersebut dapat saja terjadi bilamana Si A melaporkan tindakan Bapak Anto ke Kepolisian.
Sebagai saran dari kami, bila Bapak mempunyai permasalahan seperti di atas, Bapak perlu melakukan gugatan kepada Si A ke pengadilan, karena Si A tidak membayar hutangnya. Dalam gugatan yang Bapak ajukan, disamping Bapak meminta supaya Si A membayar hutangnya, Bapak juga dapat meminta ganti rugi. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1243 KUHPerdata, “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila yang berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Kemudian, biar nantinya pengadilan yang akan melakukan eksekusi dan penyitaan terhadap barang-barang milik Si A.

Hubungan Antara Hukum Islam, Syariah dan Fikih

Di atas telah dijelaskan bahwa hukum Islam merupakan istilah yang lahir sebagai terjemahan dari istilah berbahasa Inggris Islamic law. Namun, kalau dikaji dari bentukan kata hukum Islam itu sendiri, yakni gabungan dari kata ‘hukum’ dan kata ‘Islam’, maka dapat dipahami bahwa hukum Islam itu merupakan hukum yang bersumber dari ajaran Islam.
Istilah hukum Islam tidak ditemukan dalam al-Quran, Sunnah, maupun literatur Islam. Untuk itu perlu dicari padanan istilah hukum Islam ini dalam literatur Islam. Jika hukum Islam itu dipahami sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam, maka sulit dicari padanan yang dalam literatur Islam persis sama dengan istilah tersebut. Ada dua istilah yang dapat dipadankan dengan istilah hukum Islam, yaitu syariah dan fikih. Dua istilah ini, sebagaimana sudah diuraikan di atas, merupakan dua istilah yang berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan, karena keduanya sangat terkait erat.
Hubungan antara Hukum Islam, Syariah, dan FikihDengan memahami kedua istilah ini dengan berbagai karakteristiknya masing-masing, dapatlah disimpulkan bahwa hukum Islam itu tidak sama persis dengan syariah dan sekaligus tidak sama persis dengan fikih. Tetapi juga tidak berarti bahwa hukum Islam itu berbeda sama sekali dengan syariah dan fikih. Yang dapat dikatakan adalah pengertian hukum Islam itu mencakup pengertian syariah dan fikih, karena hukum Islam yang dipahami di Indonesia ini terkadang dalam bentuk syariah dan terkadang dalam bentuk fikih, sehingga kalau seseorang mengatakan hukum Islam, harus dicari dulu kepastian maksudnya, apakah yang berbentuk syariah ataukah yang berbentuk fikih. Hal inilah yang tidak dipahami oleh sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk sebagian besar kaum Muslim, sehingga mengakibatkan hukum Islam dipahami dengan kurang tepat bahkan salah.
Hubungan antara syariah dan fikih sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Syariah merupakan sumber atau landasan fikih, sedangkan fikih merupakan pemahaman terhadap syariah. Pemakaian kedua istilah ini sering rancu, artinya ketika seseorang menggunakan istilah syariah terkadang maksudnya adalah fikih, dan sebaliknya ketika seseorang menggunakan istilah fikih terkadang maksudnya adalah syariah. Hanya saja kemungkinan yang kedua ini sangat jarang.
Meskipun syariah dan fikih tidak dapat dipisahkan, tetapi keduanya berbeda. Syariah diartikan dengan ketentuan atau aturan yang ditetapkan oleh Allah tentang tingkah laku manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Ketentuan syariah terbatas dalam firman Allah dan penjelasannya melalui sabda Rasulullah. Semua tindakan manusia di dunia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasulullah itu sebagian telah terdapat secara tertulis dalam al-Quran dan Sunnah yang disebut syariah, sedang sebagian besar lainnya tersimpan di balik apa yang tertulis itu, atau yang tersirat.
Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu harus ada pemahaman yang mendalam tentang syariah hingga secara amaliyah syariah itu dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi bagaimana pun. Hasil pemahaman itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terperinci. Ketentuan terperinci tentang tingkah laku orang mukallaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah itu disebut fikih.
Pemahaman terhadap hukum syara’ atau formulasi fikih itu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi manusia dan dinamika serta perkembangan zaman. Fikih biasanya dinisbatkan kepada para mujtahid yang memformulasikannya, seperti Fikih Hanafi, Fikih Maliki, Fikih Syafi’i, Fikih Hanbali, Fikih Ja’fari (Fikih Syi’ah), dan lain sebagainya, sedangkan syariah selalu dinisbatkan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum-hukum fikih merupakan refleksi dari perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya. Mazhab fikih tidak lain dari refleksi perkembangan kehidupan masyarakat dalam dunia Islam, karenanya mengalami perubahan sesuai dengan zaman dan situasi serta kondisi masyarakat yang ada.
Jadi, secara umum syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah yang belum dicampuri daya nalar (ijtihad), sedangkan fikih adalah hukum Islam yang bersumber dari pemahaman terhadap syariah atau pemahaman terhadap nash, baik al-Quran maupun Sunnah.
Asaf A.A. Fyzee membedakan kedua istilah tersebut dengan mengatakan bahwa syariah adalah sebuah lingkaran yang besar yang wilayahnya meliputi semua perilaku dan perbuatan manusia; sedang fikih adalah lingkaran kecil yang mengurusi apa yang umumnya dipahami sebagai tindakan umum. Syariah selalu mengingatkan kita akan wahyu, ‘ilmu (pengetahuan) yang tidak akan pernah diperoleh seandainya tidak ada al- Quran dan Sunnah; dalam fikih ditekankan penalaran dan deduksi yang dilandaskan pada ilmu terus-menerus dikutip dengan persetujuan. Jalan syariah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya; bangunan fikih ditegakkan oleh usaha manusia. Dalam fikih satu tindakan dapat digolongkan pada sah atau tidak sah, yajuzu wa ma la yajuzu, boleh atau tidak boleh. Dalam syariah terdapat berbagai tingkat pembolehan atau pelarangan. Fikih adalah istilah yang digunakan bagi hukum sebagai suatu ilmu; sedang syariah bagi hukum sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan dari langit (Fyzee, 1974: 21).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan mengenai perbedaan antara syariah dan fikih sebagai berikut:

  1. Syariah berasal dari Allah dan Rasul-Nya, sedang fikih berasal dari pemikiran manusia.
  2. Syariah terdapat dalam al-Quran dan kitab-kitab hadis, sedang fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih.
  3. Syariah bersifat fundamental dan mempunyai cakupan yang lebih luas, karena oleh sebagian ahli dimasukkan juga aqidah dan akhlak, sedang fikih bersifat instrumental dan cakupannya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia.
  4. Syariah mempunyai kebenaran yang mutlak (absolut) dan berlaku abadi, sedang fikih mempunyai kebenaran yang relatif dan bersifat dinamis.
  5. Syariah hanya satu, sedang fikih lebih dari satu, seperti terlihat dalam mazhab-mazhab fikih.
  6. Syariah menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan keragaman dalam Islam.[*]